Alhamdulillah
pada Minggu, 12 Oktober 2014 pukul 10.00-12.00 WIB Annisa LDK Ar-Rahman
mempersembahkan agenda menarik yang kami cover dengan tema ‘Memburu Hidayah’.
Agenda kali ini berbeda dengan agenda-agenda yang telah kami laksanakan
sebelumnya. Mengapa berbeda? Karena agenda kali ini kami kemas dengan sesuatu
yang menarik yaitu dengan membedah sebuah novel karya Mba Helvy Tiana Rosa yang
berjudul Ketika Mas Gagah Pergi yang diakronimkan menjadi KMGP. Yah, KMGP bukan
AADC atau KCB loh :D. Ohya tak hanya itu kami juga mengadakan sholat zuhur
berjamaah dan setelah itu dilanjutkan dengan rujak party di akhir acara.
Agenda ini dimoderatori oleh Ukhti
Rada Afriyanti dan hadir juga murobbi yang kami cintai yakni Uztadzah Meity.
Sebelum Ustadzah Meity membedah novel KMGP ini kami membuka agenda ini dengan
mendengarkan lantunan indah ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Ukhti
Fatur. Dan setelah itu moderator pun mempersilahkan Uztadzah Meity untuk
membedah novel KMGP ini. Terlihat raut muka para peserta yang sangat penasaran
dengan isi novel ini dan Uztadzah Meity pun membacakan novel ini dengan menarik
sampai peserta terbawa suasana.
Novel
ini bercerita tentang seorang kakak beradik dimana sang kakak (Mas Gagah)
mendapat hidayah dan dirasakan sekali oleh adiknya (Gita). Dan Mas Gagah pun
tiba-tiba berubah dan hubungan ia dan adiknya pun jadi menjauh. Tetapi mereka kembali dekat dan si kakak harus
berpulang ke Rahmatullah sepulangnya Mas Gagah mengisi ceramah di Bogor akibat
kecelakaan. Dan Mas Gagah pun mati dalam keadaan syahid. Berikut review novel
KMGP, cekidot……
Oleh
: Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunta itu benar-benar berubah!
Mas
Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia
seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas
Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat
untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir makan-makan dulu di restoran atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir makan-makan dulu di restoran atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak
ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek,
orang tua dan adik kakak teman-temanku pun menyukai sosoknya.
"Kakak
kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa
alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak
seperti itu?" tanyanya.
"Matiin
kasetnya!"kataku sewot.
"Lho
memangnya kenapa?"
"Gita
kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…,
masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini
Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho,
kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas
sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar.
"Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung.
Jadinya ya dipasang di kamar."
"Tapi
kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh
tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku
ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran.
Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke
mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid,
ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia
pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia
dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah
menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu
mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju
panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut
ditrondolin begitu!"
Uh.
Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu
aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak
pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu
selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis
segala!
Hal
lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama
menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"
"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"
"Lain gimana Ma?"
"Ya
nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama
penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"
Mas
Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana.
Kelihatannya juga lebih santun."
Ya,
dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan
panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya.
"Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami.
"Untung aja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang
paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas
Gagah?"
"Sok
kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek
paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu
dong. Sama aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh,
nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa
hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi
Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,"
kataku.
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik
manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari
kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir,
apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa
orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga
demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua
puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih
dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas
dalam-dalam.
"Mau kemana Gita?"
"Mau kemana Gita?"
"Nonton
sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah
kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut
Mas aja yuk!"
"Ke
mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas
Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di
ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat,
nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat
aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu
nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah
bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan
handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti
biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman,
diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah,
berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi.
Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?’
ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku
yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy,
untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa
dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es
kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu
contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya
Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti
Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya
berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti
dan sering salah paham."
Aku
diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang
ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
"Eh
kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat
Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.
"Tik,
aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama
ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika
menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu
mau membicarakan hal ini denganku. Nginap
di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak
Ana.
"Mbak
Ana?"
"Sepupuku
yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab.
Ajaib. Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum,
Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
‘Eh
adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!"
Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari
rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain,
Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster,
kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi
sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak
koleksi buku keislaman…
"Cuma
lagi baca!"
"Buku
apa?"
"Tumben
kamu pingin tahu?"
"Tunjukkin
dong, Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt
Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik
kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku
yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah
yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca
buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik Manis?"
"Apa Dik Manis?"
"Gita
akhwat bukan sih?"
"Memangnya
kenapa?"
"Gita
akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas
Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku.
Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami
umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah
serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah
sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas
Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil
menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas
kok nangis?"
"Mas
sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena
umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena
saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara
seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan
di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita
capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya
Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan
demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya
aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku. Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku. Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya
Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai
baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba
pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho,
rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas
Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai
Allah kayak Mama."
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu
bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku
menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali
terpengaruh dengan Mas Gagah.
"Ini
hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau
senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas Gagah bengong.
Dengan
penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam
acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi
salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya
ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas
Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya
menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga.
Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua
pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok
bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada
yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas
Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa
ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta
diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak
Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku
mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan
mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku.
Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun
ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas
ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan
riang.
"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.
"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.
"Kan
diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di
Mesjid. "
"Insya
Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama
menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku
sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah
lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin
dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai
jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu
bilang, Pa."
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab
putih itu belum juga kulepaskan. Aku
berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!"
telpon berdering.
Papa
mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara
Papa lemah.
"Mas Gagaaaaahhhh
" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak
lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama
menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari
luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya
penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang
dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah
kritis.
Dokter
melarang kami masuk ke dalam ruangan.
"Tetapi
saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab
ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama
dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di
pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani
Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster,
Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa,
Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus
mengalir.
Tapi
tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah
sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan
tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.
Tiga
jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah
sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang
juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan
Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak
lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah
sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…" suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan
waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk
bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter
Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini
Gita Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh
Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh
Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir…Mas."
Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai
perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.
"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…"
kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah
mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU
memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan
sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali.
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah
menginginkan kami semua berkumpul.
Kian
lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih
tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski
hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap
setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah
banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah
pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan
beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan
Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas
Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi
wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa
juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu
panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar
ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada
kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku.
Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas,
Gita akhwat bukan sih?"
"Ya,
insya Allah akhwat!"
"Yang
bener?"
"Iya,
dik manis!"
"Kalau
ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok
nanya gitu sih?"
"Lha,
Mas Gagah kan ada janggutnya?"
"Ganteng
kan?"
"Uuuuu!
Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya
always dong, jihad itu…"
Setetes,
dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu
kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!
Buat
ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan
jadilah muslimah sejati agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas
Ikhwan, eh Mas Gagah!
Well,
setelah membaca review diatas jadi pengen baca full, ceritanya mengaharukan. Selamat
jalan Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Gagah!
Selamat
memburu hidayah buat kita semua! Teruslah mencari dan memburu hidayah wahai
saudaraku karena hidayah itu adalah panggilan. Ingatlah, bahwa Allah hanya
memanggil orang-orang yang mau di panggil. Dan pedulilah pada masa depan umat
Islam sebagaimana yang Mas Gagah sampaikan dalam kutipan berikut,
"Mas
sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena
umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena
saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara
seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan
di jalan dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
Akhir
kata semoga kita tetap istiqomah dijalan ini. Wahai ukhtifillah semoga kita
juga bisa meneladani sosok Gita ‘Dik Manis’ yang sangat menikmati proses
hijrahnya dan jadilah muslimah sejati agar Allah selalu besertamu.
Selamat
jalan Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Gagah!
Berikut
kesan beberapa peserta………
“Jika
kita sudah dikasih hidayah, maka segeralah menjemputnya. Karena kita tidak akan
tau kapan kita akan meninggal dunia.” –Novi Ayu Setiari-
“KMGP!
So inspiring! Alhamdulillah dapat ‘Aha Moment’ yang buanyaaaak. Untuk
ukhtifillah
‘dik
manis’ jangan takut untuk berhijrah dan jangan takut jika ada seseorang yang
membencimu karena hijarahmu, ingatlah bahwa masih ada mereka barisan para
akhwat yang menyayangimu. Tapi takutlah jika Allah membencimu karena tak ada
lagi yang mencintaimu didunia dan akhirat.”
–Siti
Humairah-
Penyerahan
cendramata kepada uztadzah Meity
Annisa
LDK-ar-Rahman
Rujak Party
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar