Penulis: Marlia Alvionita
Mungkin di sela diamnya, terhela kecewa.
Mungkin dalam keras deru napas marahnya, terbersit rasa ingin mengakhiri saja.
Tapi
jika ia lelakiku, di jeda saat tiupan angin mendesah kering waktu tanpa
sapa, ia akan dapati bahwa aku, wanitanya, hanyalah manusia.
Kemudian ia kan
berkaca dan menemukan dirinya kian dewasa atas gejolak cinta yang
memenuhi semestanya. Semesta di mana surga tak hanya ada cinta, di sana
juga ada tangis, marah, luka, diam, mendengar, bersungut, kadang suara
pun mesti berebut.
Ya, di sini, di surga semesta. Tempat cinta kita tanam di dunia untuk kita tuai bahagia di surga sebenarnya.
***
Jika
kau tanya padaku seperti apa lelaki istimewa yang kan kucium punggung
tangannya tiap saat dengan penuh syukur dan senyum bertabur, sekarang
hanya akan ada gelengan yang kau dapat sebagai jawab, semua masih serba
blur.
Namun layaknya lajang yang juga dianugerahi sayang,
aku tak juga bisa memberi gelengan yang sama, jika tanyamu telah
berganti makna, “Lalu sudahkah kau diam-diam menyusun bayangan detik
demi detik waktu yang kan kau lewati bersama ia, lelakimu kelak?”
Sudah. Aku merangkainya dalam dimensi-dimensi doa syahdu meski kadang tertitik setetes ragu, akankah sebahagia itu?
Larik demi larik puisi sejak kata masih begitu polos
menerka hingga kini usia telah memakan banyak mimpi remaja. Kini pria
yang diimpi bukan lagi hanya dimensi fisik yang mesti terpenuhi.
Kini
bukan lagi sensasi seru bertukar sapa dan tatap mata sejenak pada ia
yang kau suka, bukan seperti itu lagi dimensi cinta yang kuyakini. Tak
perlu banyak kata, hanya ingin bila telah sampai waktunya, kutunggu
ijabnya saja.
Seorang pria yang menikah menjadi tujuan melengkapi agama, menjalankan sunnah Rasul dan menjaga pandangannya.
Ia
yang menggumam malu-malu namaku dalam doanya, sekali. Ya cukup sekali,
lalu tersadar bahwa siapapun jodohnya maka yang paling penting adalah
bahwa si wanita senantiasa menjaga kesucian dan penaat peraturan.
Pria
yang mendatangi ayahku dengan bajunya yang tesetrika rapi, tutur kata
yang sopan, kalimat yang terangkai begitu lancar seperti telah ia hapal
dan berulang kali ia ulang dalam latihan.
Yang mencoba tetap terlihat wibawa, walau kutebak pasti ada
tegang dan takut dalam hati kecilnya, namun ia tak menunduk, manatap
mata ayahku seolah berkata, “Percayakan putrimu padaku untuk sekarang
hingga nanti sebagai bidadari yang menemani di surga.”
Seorang
putra dari sebuah keluarga, kakak dari adik-adiknya, seseorang yang
menjadi penyemangat dan pemegang amanah kuat. Dan kini ia memintaku
menjadi bagian dari amanah yang akan ia pikul, menyayangi, memberikan
nafkah, memberi pendidikan, bertanggungjawab untuk meluruskan tiap
keteledoran, itulah janjinya yang tersirat dalam tiap kata ijab kabul
yang ia ucap dengan mantap.
Saat
semua janji telah terlantun, sumpah telah tercatat dan Arsyi bergetar
karena hebatnya pertaruhan atas nama cinta dengan menyebut namaNya.
Maka
saat itu pertama kalinya raga ini bersentuh, langkah demi langkah ke
penyatuan kian dekat kami rasakan, saat itu gemetar jiwaku, inilah dia orangnya, kami saling
bergumam, seperti inilah raga dari pria yang akan setiap hari kutemui
dalam ketaatan kasih dan sayang. Yang dulu diam-diam aku perkirakan
dengan malu-malu dan rona merah di pipiku.
Saat
telah dekat, kami saling menatap, jeda sebentar lalu dengan gemetar aku
mengambil tangan kanannya yang terulur, besar dan kuat.
Menyentuhkannya ke bibirku untuk kucium penuh hikmad. Sentuhan pertama kami, genggaman pertama kami.
Dan
ia pun memegang ubunku dengan tangan kanannya yang besar, berdoa dengan
pelan namun sayup masih mampu kudengar, doa yang dicontohkan Sang Nabi:
“Ya Allah aku mohonkan pada-Mu kebaikan perempuan ini dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptaannya.”
Kami
shalat dua rakaat. Khusyuk. Gemetar akan kesyahduan cinta yang
ditawarkan. Saling bertanya dalam diam, jika kenikmatan memandang sang
belahan jiwa begitu menggetarkan, bagaimana kelak saat kedua bola mata
ini melihat Ia, Sang pembawa risalah suci? Bagaimana jika kedua bola
mata ini menatap sang penciptanya, Sang Maha Pengatur dan Maha
penyayang?
Seketika
tetes air mata mengucur, deras kian deras. Sujud syukur dan kumandang
doa dari keluarga dan teman semakin menambah pesona kebahagiaan dan
mimpi berhimpun hingga ke negeri tak berujung. Surga.
Pria yang tak perlulah memiliki BMW tiga, apartemen tersebar di tujuh kota berbeda, atau nama besar keluarga di belakangnya.
Hanya
ia yang dengan tulus senyum bekerja tanpa keluh, tanpa mesti kusuruh,
yang tak rikuh turut membantu mengusap peluh di keningku pada
malam-malam saat aku terbaring sakit dengan igauan yang mengusik tidur
lelapnya, mengganggu waktu istirahatnya, dan atas semua itu ia hanya
akan merasa kian mencintaiku, wanitanya, atas segala ujian yang telah
dan kan kita lewati keras dan susahnya.
Seorang
pria yang padanya akan kubagi ketakutan terbesarku yang membuat
kutrauma dulu, dan saat mendengarnya ia hanya akan berkata, “Kini semua
akan baik-baik saja.”
Kan
kuceritakan mimpi terbesarku, untuk kemudian ia respon dengan sebuah
anggukan kecil dan senyum penuh kepastian, “Nanti pelan-pelan akan coba
kita wujudkan. Mimpimu bukan lagi menjadi milikmu sendiri, kini ia tlah
menjadi mimpiku juga, mari berusaha mewujudkannya. Berdua di surga
semesta kita.”
Yang
tiap harinya akan kutunggu dengan senyum lebar setelah seharian aku
sibuk membuka buku resep, menelpon mertua untuk tau resep rahasia
masakan kesukaannya.
Dia
yang diam-diam akan kurajutkan baju-baju penghangat, sarung tangan lucu
dengan warna kembar dengan benang-benang rajut yang kuselipkan doa
pelindung panas, hujan dan berbagai gangguan kesehatan.
Kian
hari kian banyak puisi yang kutuliskan, kian hari kian jatuh hati. Lalu
ia menjadi inspirasi untuk bukuku yang ketiga, keempat, kelima dan
seterusnya.
Temanya selalu sama : cinta.
Seorang pria yang tiap paginya akan kupenuhi pesan cinta, senyum istimewa dan sarapan penuh tatapan puja.
Dan
ia lelakiku, dengan senyum sahajanya hanya akan menyentuh kepalaku
dengan telapak tangan kanannya yang lebar, dengan suaranya yang besar,
berkata malu, “Sudahlah, berhenti menatapku seperti itu.”
Begitulah pagiku, pagi yang kan kulewati dengannya.
Seorang
lelaki yang tiap keringatnya menetes, tersapu ringan oleh harap akan
hidupku yang lebih bahagia dan doa-doa kecil harapan nyenyak tidurku
dengan perut kenyang dan hati tenang karena tahu esok kami masih bisa
berteduh dan makan dengan nyaman.
Meski
dalam diam marahnya, dalam sepi hati yang bergemuruh kesalahpahaman,
dalam gumaman kami akan tetap menyapa, saling mengucap nama dalam sujud
terakhir tiap shalat yang didirikan, dalam nada merdu mencintai dan
peduli, dalam keridhoan dan kesadaran bahwa masalah ini akan terlewati
juga pemahaman bahwa kesalahan masih bisa diperbaiki dan kerikil kecil
ini hanya sebuah jeda yang manusiawi.
Itu aku dan priaku nanti.
Rumah kami nanti adalah sebuah bangunan sederhana yang di dalamnya kami letakkan cinta, yang tiap sudutnya kami isi dengan doa,
yang dindingnya berhias senyum mesra, yang udaranya terpenuhi oleh sapa
manja, dengan kursi yang sandarannya empuk terbentuk dari kapuk rindu,
tiap langkah di rumah kami terlantun nada-nada rela dan patuh. Pintunya
terukir kerja keras, jendela yang mengelilingi berhias semesta
pemandangan surga.
Yang jika ditinggal oleh pemiliknya, rumah itu akan mengalunkan melodi pemanggil agar kami kembali menempati berbagi canda dan tangis. Berkali terluka kemudian ikhlas memahami.
Lelaki
yang mengimamiku shalat di sepertiga malam terakhir dengan lembut
suaranya, tartil bacaannya. Yang saat shalat telah selesai dan salam
mengakhirkan. Kala itu kupandangi punggungnya yang lebar, punggung yang
tak henti bekerja, untuk menghidupiku, mengemban amanah menjaga keluarga
ini. Punggung yang tak rebah dan mengambil jeda jika tidak sakit hingga
badannya panas.
Dan kian kumenyayanginya.
Lalu di sisi kita akan bertambah anggota keluarga, satu persatu.
Menanti mereka dengan penuh doa, berbaik sangka dengan berbagai rencana merawat sebaik-baiknya.
Berbagai
kesibukan menjadi calon orangtua muda kita nikmati adanya. Banyak waktu
yang kita bagi, bercerita mimpi, berebut nama-nama putra dan putri,
berdiskusi setelah ini akankah memutuskan punya anak lagi?
Satu, dua, tiga, empat, lima
dan kita kian bahagia. Berdua merawat mereka, melihat mereka bertumbuh,
menemani tiap tanya kecil yang sungguh tak terteka, ribuan tawa karena
polah mereka yang kian lucu nan menggemaskan.
Menemani
langkah pertama, mendengar kata yang terlantun tak jelas namun membuat
binar di kedua bola mata kita kian terang. Anakku kini bisa berjalan dan
bicara.
Mengajarkan
mereka mengenal Allah lewat sapuan angin di pipi merah meronanya, lewat
suara burung yang tiap pagi didengar di pucuk pohon halaman belakang,
lewat lantunan ayat suci yang menemani pagi.
Mengajarkan mereka mengenal nabinya, sang pembawa risalah suci lewat kisah perjuangan, kisah penuh kasih sayang dan lewat hadits dan Al Quran.
Mengajarkan
mereka menghormati ayahnya. Yang telah payah bersusah, lelah namun
tanpa sedikitpun keluh atau desah tak suka merapalkan kata kasar atau
keras di rumah.
Menyayangi
ayahnya yang selalu tersenyum dengan nasihat bertabur, yang menemani
dengan peluk dan usap sayang pada tiap kepala buah hatinya.
Dan
kini tiap hari kami ditemani kelelahan di setiap penghujung hari, namun
anehnya lelah yang ini melegakan. Lelah setelah melihat mereka tertidur
pulas di ranjang setelah kulantunkan cerita kenabian dan kau ajarkan
doa-doa penutup hari dan peneman lelap.
Lelah setelah menemani mereka belajar, mencukupi segala kebutuhan. Namun anehnya lelah yang ini penuh dengan keikhlasan, tak ada pamrih, tak berharap nanti akan mendapat balasan sayang.
Doa-doa kita kian lama,
kian banyak nama yang tercantum di dalamnya. Mendoakan kebaikan atas
jiwa-jiwa besar berbalut tubuh mungil yang tertidur di sebelah kamar
Dan masih tentang pria yang sama. Pria yang kan
kutemani dan menemaniku menua, kian bijak kata yang keluar dari
bibirnya. Kian teduh tatapnya dan kian sabar ia menasehati setiap
kecerobohanku.
Seorang
pria yang masih sesekali akan berkata sambil menatap mataku penuh puja
dan elusan di pipiku yang kian hari kian berkerut keriput. Kau cantik, dan aku kian cinta.
Kami pun kembali sendiri setelah satu persatu anak-anak kelar untuk membentuk keluarga baru saperti kami dulu.
Kian syahdu hari yang terlewat melewati tiap detik dengan ibadah dan senyum pasrah.
Kau
masih sama, sangat ketat menjaga kesehatan, wajar hingga usiamu yang ke
sekian riwayat penyakitmu yang terendah dalam catatan keluarga kita.
Dan kini kau menularkan kebiasaanmu padaku. Berlari, senam dan yoga.
Malam-malam
yang terlewat kita habiskan dengan membuka album kenangan, tertawa
lucu, tertawa haru. Tak ada tangis, tak perlulah, karena kian tua
membuat kita kian mengerti bahwa keabadian hanya imaji, setidaknya
begitulah konsep dunia yang kita pahami.
Abadi hanya milik sang Illahi yang ia bagi jika kita telah sampai pada waktu dan tempat yang ditetapkan.
Saat ruh-ruh telah kembali dan berkumpul di sisinya.
Kini
kita telah menanti waktu itu, berdua. Entah kau atau aku yang dipanggil
terlebih dahulu, kita hanya tahu untuk menikmati waktu yang masih
diberi sambil bersiap dihisab.
Lalu
dalam ujung buku yang mungkin akan jadi buku terakhirku, aku bisa
tuliskan dnegan senyum lega penuh kebanggaan. Dan mereka pun hidup
bahagia untuk selamanya.
***
Tapi
kini, entah di mana, siapa dan sedang apa. Aku hanya bisa menanti dan
berdoa, kau dalam dimensi yang masih serba tak terteka dalam jarak dan
jeda, telah sedang belajar memperbaiki, tengah lantang dalam kebenaran
dan sunyi dari tebar pesona sana-sini, tengah lelah karena konsekuensi
dakwah, namun tak juga memutus keluar dan pergi lalu bermewah-mewah.
Hingga hari bertemu akan segera tiba, yang aku tak tahu apakah kesempatannya ada di dunia atau kelak di surga.
Apakah mungkin dia adalah kamu yang sedang membaca?
Menulis
untuk berbagi kata, makna, dan ungkapan sederhana. Sedang selalu
berproses menjadi pembelajar yang sabar, hingga dewasa kelak dengan
penuh asa. Mencintai bercerita dan membaca.
Bisa
ditemui untuk berbagi dan diskusi di akun facebook dengan nama akun
Marlia Alvionita, twitter @marliaalvionita, dan blog baru dengan
pemaknaan berbagi yang lebih sederhana dan meremaja di
simpulkecil.blogspot.com.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar