surga semesta

Posted by Unknown On 06.37 No comments



                                                     Penulis: Marlia Alvionita

 

Mungkin di sela diamnya, terhela kecewa.
Mungkin dalam keras deru napas marahnya, terbersit rasa ingin mengakhiri saja.
Tapi jika ia lelakiku, di jeda saat tiupan angin mendesah kering waktu tanpa sapa, ia akan dapati bahwa aku, wanitanya, hanyalah manusia.
Kemudian ia kan berkaca dan menemukan dirinya kian dewasa atas gejolak cinta yang memenuhi semestanya. Semesta di mana surga tak hanya ada cinta, di sana juga ada tangis, marah, luka, diam, mendengar, bersungut, kadang suara pun mesti berebut.
Ya, di sini, di surga semesta. Tempat cinta kita tanam di dunia untuk kita tuai bahagia di surga sebenarnya.
***
Jika kau tanya padaku seperti apa lelaki istimewa yang kan kucium punggung tangannya tiap saat dengan penuh syukur dan senyum bertabur, sekarang hanya akan ada gelengan yang kau dapat sebagai jawab, semua masih serba blur.
Namun layaknya lajang yang juga dianugerahi sayang, aku tak juga bisa memberi gelengan yang sama, jika tanyamu telah berganti makna, “Lalu sudahkah kau diam-diam menyusun bayangan detik demi detik  waktu yang kan kau lewati bersama ia, lelakimu kelak?”
Sudah. Aku merangkainya dalam dimensi-dimensi doa syahdu meski kadang tertitik setetes ragu, akankah sebahagia itu?
Larik demi larik puisi sejak kata masih begitu polos menerka hingga kini usia telah memakan banyak mimpi remaja. Kini pria yang diimpi bukan lagi hanya dimensi fisik yang mesti terpenuhi.
Kini bukan lagi sensasi seru bertukar sapa dan tatap mata sejenak pada ia yang kau suka, bukan seperti itu lagi dimensi cinta yang kuyakini. Tak perlu banyak kata, hanya ingin bila telah sampai waktunya, kutunggu ijabnya saja.
Seorang pria yang menikah menjadi tujuan melengkapi agama, menjalankan sunnah Rasul dan menjaga pandangannya.
Ia yang menggumam malu-malu namaku dalam doanya, sekali. Ya cukup sekali, lalu tersadar bahwa siapapun jodohnya maka yang paling penting adalah bahwa si wanita senantiasa menjaga kesucian dan penaat peraturan.
Pria yang mendatangi ayahku  dengan bajunya yang tesetrika rapi, tutur kata yang sopan, kalimat yang terangkai begitu lancar seperti telah ia hapal dan berulang kali ia ulang dalam latihan.
Yang mencoba tetap terlihat wibawa, walau kutebak pasti ada tegang dan takut dalam hati kecilnya, namun ia tak menunduk, manatap mata ayahku seolah berkata, “Percayakan putrimu padaku untuk sekarang hingga nanti sebagai bidadari yang menemani di surga.”
Seorang putra dari sebuah keluarga, kakak dari adik-adiknya, seseorang yang menjadi penyemangat dan pemegang amanah kuat. Dan kini ia memintaku menjadi bagian dari amanah yang akan ia pikul, menyayangi, memberikan nafkah, memberi pendidikan, bertanggungjawab untuk meluruskan tiap keteledoran, itulah janjinya yang tersirat dalam tiap kata ijab kabul yang ia ucap dengan mantap.
Saat semua janji telah terlantun, sumpah telah tercatat dan Arsyi bergetar karena hebatnya pertaruhan atas nama cinta dengan menyebut namaNya.
Maka saat itu pertama kalinya raga ini bersentuh, langkah demi langkah ke penyatuan kian dekat kami rasakan, saat itu gemetar jiwaku, inilah dia orangnya, kami saling bergumam, seperti inilah raga dari pria yang akan setiap hari kutemui dalam ketaatan kasih dan sayang. Yang dulu diam-diam aku perkirakan dengan malu-malu dan rona merah di pipiku.
Saat telah dekat, kami saling menatap, jeda sebentar lalu dengan gemetar aku mengambil tangan kanannya yang terulur, besar dan kuat.
Menyentuhkannya ke bibirku untuk kucium penuh hikmad. Sentuhan pertama kami, genggaman pertama kami.
Dan ia pun memegang ubunku dengan tangan kanannya yang besar, berdoa dengan pelan namun sayup masih mampu kudengar, doa yang dicontohkan Sang Nabi: “Ya Allah aku mohonkan pada-Mu kebaikan perempuan ini dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptaannya.”
Kami shalat dua rakaat. Khusyuk. Gemetar akan kesyahduan cinta yang ditawarkan. Saling bertanya dalam diam, jika kenikmatan memandang sang belahan jiwa begitu menggetarkan, bagaimana kelak saat kedua bola mata ini melihat Ia, Sang pembawa risalah suci? Bagaimana jika kedua bola mata ini menatap sang penciptanya, Sang Maha Pengatur dan Maha penyayang?
Seketika tetes air mata mengucur, deras kian deras. Sujud syukur dan kumandang doa dari keluarga dan teman semakin menambah pesona kebahagiaan dan mimpi berhimpun hingga ke negeri tak berujung. Surga.
Pria yang tak perlulah memiliki BMW tiga, apartemen tersebar di tujuh kota berbeda, atau nama besar keluarga di belakangnya.
Hanya ia yang dengan tulus senyum bekerja tanpa keluh, tanpa mesti kusuruh, yang tak rikuh turut membantu mengusap peluh di keningku pada malam-malam saat aku terbaring sakit dengan igauan yang mengusik tidur lelapnya, mengganggu waktu istirahatnya, dan atas semua itu ia hanya akan merasa kian mencintaiku, wanitanya, atas segala ujian yang telah dan kan kita lewati keras dan susahnya.
Seorang pria yang padanya akan kubagi ketakutan terbesarku yang membuat kutrauma dulu, dan saat mendengarnya ia hanya akan berkata, “Kini semua akan baik-baik saja.”
Kan kuceritakan mimpi terbesarku, untuk kemudian ia respon dengan sebuah anggukan kecil dan senyum penuh kepastian, “Nanti pelan-pelan akan coba kita wujudkan. Mimpimu bukan lagi menjadi milikmu sendiri, kini ia tlah menjadi mimpiku juga, mari berusaha mewujudkannya. Berdua di surga semesta kita.”
Yang tiap harinya akan kutunggu dengan senyum lebar setelah seharian aku sibuk membuka buku resep, menelpon mertua untuk tau resep rahasia masakan kesukaannya.
Dia yang diam-diam akan kurajutkan baju-baju penghangat, sarung tangan lucu dengan warna kembar dengan benang-benang rajut yang kuselipkan doa pelindung panas, hujan dan berbagai gangguan kesehatan.
Kian hari kian banyak puisi yang kutuliskan, kian hari kian jatuh hati. Lalu ia menjadi inspirasi untuk bukuku yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
Temanya selalu sama : cinta.
Seorang pria yang tiap paginya akan kupenuhi pesan cinta, senyum istimewa dan sarapan penuh tatapan puja.
Dan ia lelakiku, dengan senyum sahajanya hanya akan menyentuh kepalaku dengan telapak tangan kanannya yang lebar, dengan suaranya yang besar, berkata malu, “Sudahlah, berhenti menatapku seperti itu.”
Begitulah pagiku, pagi yang kan kulewati dengannya.
Seorang lelaki yang tiap keringatnya menetes, tersapu ringan oleh harap akan hidupku yang lebih bahagia dan doa-doa kecil harapan nyenyak tidurku dengan perut kenyang dan hati tenang karena tahu esok kami masih bisa berteduh dan makan dengan nyaman.
Meski dalam diam marahnya, dalam sepi hati yang bergemuruh kesalahpahaman, dalam gumaman kami akan tetap menyapa, saling mengucap nama dalam sujud terakhir tiap shalat yang didirikan, dalam nada merdu mencintai dan peduli, dalam keridhoan dan kesadaran bahwa masalah ini akan terlewati juga pemahaman bahwa kesalahan masih bisa diperbaiki dan kerikil kecil ini hanya sebuah jeda yang manusiawi.
Itu aku dan priaku nanti.


Rumah kami nanti adalah sebuah bangunan sederhana yang di dalamnya kami letakkan cinta, yang tiap sudutnya kami isi dengan doa, yang dindingnya berhias senyum mesra, yang udaranya terpenuhi oleh sapa manja, dengan kursi yang sandarannya empuk terbentuk dari kapuk rindu, tiap langkah di rumah kami terlantun nada-nada rela dan patuh. Pintunya terukir kerja keras, jendela yang mengelilingi berhias semesta pemandangan surga.
Yang jika ditinggal oleh pemiliknya, rumah itu akan mengalunkan melodi pemanggil agar kami kembali menempati berbagi canda dan tangis. Berkali terluka kemudian ikhlas memahami.
Lelaki yang mengimamiku shalat di sepertiga malam terakhir dengan lembut suaranya, tartil bacaannya. Yang saat shalat telah selesai dan salam mengakhirkan. Kala itu kupandangi punggungnya yang lebar, punggung yang tak henti bekerja, untuk menghidupiku, mengemban amanah menjaga keluarga ini. Punggung yang tak rebah dan mengambil jeda jika tidak sakit hingga badannya panas.
Dan kian kumenyayanginya.
Lalu di sisi kita akan bertambah anggota keluarga, satu persatu.
Menanti mereka dengan penuh doa, berbaik sangka dengan berbagai rencana merawat sebaik-baiknya.
Berbagai kesibukan menjadi calon orangtua muda kita nikmati adanya. Banyak waktu yang kita bagi, bercerita mimpi, berebut nama-nama putra dan putri, berdiskusi setelah ini akankah memutuskan punya anak lagi?
Satu, dua, tiga, empat, lima dan kita kian bahagia. Berdua merawat mereka, melihat mereka bertumbuh, menemani tiap tanya kecil yang sungguh tak terteka, ribuan tawa karena polah mereka yang kian lucu nan menggemaskan.
Menemani langkah pertama, mendengar kata yang terlantun tak jelas namun membuat binar di kedua bola mata kita kian terang. Anakku kini bisa berjalan dan bicara.
Mengajarkan mereka mengenal Allah lewat sapuan angin di pipi merah meronanya, lewat suara burung yang tiap pagi didengar di pucuk pohon halaman belakang, lewat lantunan ayat suci yang menemani pagi.
Mengajarkan mereka mengenal nabinya, sang pembawa risalah suci lewat kisah perjuangan, kisah penuh kasih sayang dan lewat hadits dan Al Quran.
Mengajarkan mereka menghormati ayahnya. Yang telah payah bersusah, lelah namun tanpa sedikitpun keluh atau desah tak suka merapalkan kata kasar atau keras di rumah.
Menyayangi ayahnya yang selalu tersenyum dengan nasihat bertabur, yang menemani dengan peluk dan usap sayang pada tiap kepala buah hatinya.
Dan kini tiap hari kami ditemani kelelahan di setiap penghujung hari, namun anehnya lelah yang ini melegakan. Lelah setelah melihat mereka tertidur pulas di ranjang setelah kulantunkan cerita kenabian dan kau ajarkan doa-doa penutup hari dan peneman lelap.
Lelah setelah menemani mereka belajar, mencukupi segala kebutuhan. Namun anehnya lelah yang ini penuh dengan keikhlasan, tak ada pamrih, tak berharap nanti akan mendapat balasan sayang.
Doa-doa kita kian lama, kian banyak nama yang tercantum di dalamnya. Mendoakan kebaikan atas jiwa-jiwa besar berbalut tubuh mungil yang tertidur di sebelah kamar
Dan masih tentang pria yang sama. Pria yang kan kutemani dan menemaniku menua, kian bijak kata yang keluar dari bibirnya. Kian teduh tatapnya dan kian sabar ia menasehati setiap kecerobohanku.
Seorang pria yang masih sesekali akan berkata sambil menatap mataku penuh puja dan elusan di pipiku yang kian hari kian berkerut keriput. Kau cantik, dan aku kian cinta.
Kami pun kembali sendiri setelah satu persatu anak-anak kelar untuk membentuk keluarga baru saperti kami dulu.
Kian syahdu hari yang terlewat melewati tiap detik dengan ibadah dan senyum pasrah.
Kau masih sama, sangat ketat menjaga kesehatan, wajar hingga usiamu yang ke sekian riwayat penyakitmu yang terendah dalam catatan keluarga kita. Dan kini kau menularkan kebiasaanmu padaku. Berlari, senam dan yoga.
Malam-malam yang terlewat kita habiskan dengan membuka album kenangan, tertawa lucu, tertawa haru. Tak ada tangis, tak perlulah, karena kian tua membuat kita kian mengerti bahwa keabadian hanya imaji, setidaknya begitulah konsep dunia yang kita pahami.
Abadi  hanya milik sang Illahi yang ia bagi jika kita telah sampai pada waktu dan tempat yang ditetapkan.
Saat ruh-ruh telah kembali dan berkumpul di sisinya.
Kini kita telah menanti waktu itu, berdua. Entah kau atau aku yang dipanggil terlebih dahulu, kita hanya tahu untuk menikmati waktu yang masih diberi sambil bersiap dihisab.
Lalu dalam ujung buku yang mungkin akan jadi buku terakhirku, aku bisa tuliskan dnegan senyum lega penuh kebanggaan. Dan mereka pun hidup bahagia untuk selamanya.
*** 
Tapi kini, entah di mana, siapa dan sedang apa. Aku hanya bisa menanti dan berdoa, kau dalam dimensi yang masih serba tak terteka dalam jarak dan jeda, telah sedang belajar memperbaiki, tengah lantang dalam kebenaran dan sunyi dari tebar pesona sana-sini, tengah lelah karena konsekuensi dakwah, namun tak juga memutus keluar dan pergi lalu bermewah-mewah.
Hingga hari bertemu akan segera tiba, yang aku tak tahu apakah kesempatannya ada di dunia atau kelak di surga.
Apakah mungkin dia adalah kamu yang sedang membaca?


Menulis untuk berbagi kata, makna, dan ungkapan sederhana. Sedang selalu berproses menjadi pembelajar yang sabar, hingga dewasa kelak dengan penuh asa. Mencintai bercerita dan membaca.
Bisa ditemui untuk berbagi dan diskusi di akun facebook dengan nama akun Marlia Alvionita, twitter @marliaalvionita, dan blog baru dengan pemaknaan berbagi yang lebih sederhana dan meremaja di simpulkecil.blogspot.com.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar: