Dongeng Air Mata

Posted by Unknown On 19.21 No comments

Penulis: Fatimah Azzahrah


Air mata, air mata, air mata. Siapakah yang lebih pantas memilikimu, aku atau anak kecil? Mungkin aku masih kecil atau mungkin memang dasar aku cengeng. Tapi ini bukan mauku, ini maunya si kelenjar air mata. Ia bekerja secara motorik atas perintah otak. Otak sendiri mencerna lalu memerintahnya setelah mendapat sinyal dari sebuah rasa, bisa bahagia, sedih, kecewa, ataupun takut. Dan inilah dongeng tentang air mataku.

Deras. Rasa-rasanya air mata gadis itu semakin deras seiring derasnya ledekan yang dilontarkan padanya. Padahal, tahukah kalian betapa bagus namanya. Ya, gadis itu bernama Ceria. Nama yang bisa dianggap tidak lazim meski dapat ditemukan artinya dalam kamus. Ketidaklaziman itu juga yang mungkin membuat teman-temannya lalu membuat plesetan: Cengeng Ria. Karena air matanya itu. Hobi menangisnya itu. Tak henti mereka juga mencari-cari cara untuk mengusilinya.

“Mana sepatuku?” tanya Ceria terisak. Ia terlihat hanya memakai kaus kaki putih. Jempol dan tumitnya menyembul dari balik kelabunya kaus kaki. Ia tersedu dan putus asa mencari di mana sepatu itu berada.

“Dasar cengeng!”

“Gitu aja nangis!”

Nih, kubalikin sepatunya!”

Tapi sepatunya itu malah dilempar-lempar. Ketika Ceria mengejar ke sini, sepatu dilempar ke sana. Ceria bergegas ke sana, sepatu itu dilempar ke sini lagi. Ketika mau dilempar lagi, Ceria berhasil menangkapnya. Sepatu butut itu pun kembali. Ujungnya menganga, lebar sekali. Sudah berulangkali dilem, sudah sering dijahit, tapi tak mempan. Ia pun memakainya sambil melap pipinya yang basah.

Awan cukup kelabu untuk ukuran siang. Berubah, menjelma, mendorong Ceria dengan menjadi payung ketika ia berlari meninggalkan sekolah jahanam itu. Mungkin jahanam itu hanya baginya. Karena ia korban pembedaan. Alangkah teganya membedakan manusia lantaran harta dan kedudukan. Sementara ia tidak berharap apa-apa dari sekolah itu, tidak bermimpi meraih pendidikan yang lebih tinggi, hanya sekadar ingin tahu seperti apa lezatnya ilmu pengetahuan.

Kalau ingin menemukan rumahnya, tak begitu sulit. Karena rumahnya bisa di kolong jembatan atau lorong sekitar terminal atau emper-emper toko. Ceria punya rumah tetap sebenarnya, tapi malas tinggal di sana. Orang tuanya sendiri yang membuatnya tidak nyaman berada di dalamnya.

Ibunya cuma tukang cuci. Sesekali menjadi perempuan panggilan pula ia. Sementara bapaknya adalah tukang biasa, bisa tukang ojek, bisa tukang judi, bisa juga tukang mabuk. Ceria menganggap keduanya adalah orang tua yang payah, mungkin juga tidak waras. Ia merasa iri bila teman-temannya di sekolah membanggakan orang tuanya masing-masing, yang direktur-lah, yang dokter-lah, yang polisi-lah. Makanya, Ceria ingin sekolah, kelak ingin jadi lebih dari orang tuanya. Tapi akhirnya ia pulang juga. Bagaimanapun juga orang tua tetaplah orang tua, sekalipun mereka payah, tidak ada yang bisa memutuskan ikatan darah itu. Ah, seandainya Tuhan mengizinkan kita memilih sendiri orang tua yang merawat kita.

“Heh, bocah ingusan!” Bapak langsung menghardiknya begitu ia membuka pintu. Dicengkeram kuat-kuat kerah seragam Ceria. “Kemana saja, anak goblok?! Lupa ya nyetor ke orang tua?”

“Ampun, Pak… kemarin nyari duit sampai malam buat bayar sekolahan,” Ceria meringis, napasnya mulai sesak.

"Dapat berapa, hah? Sini bagi!” Bapak meremas dada Ceria yang baru tumbuh, merogoh saku, dan menarik uang yang ada di sana. Tak lupa, ia menarik rok biru tua yang dipakai anaknya, meraba-raba, mencari uang juga, tapi tak ada.

“Pak, sisain dikit, buat makan besok…,” Ceria memelas, berharap Bapak meninggalkan sedikit saja uang hasil kerjanya.

“Ah, cerewet!” Bapak menghempaskannya ke lantai, menyeringai sejurus yang sempat ditangkap oleh mata anak gadisnya. Sang Bapak pun pergi, meninggalkan Ceria tersungkur, entah ke mana. Ceria berusaha menahan tangis. Sungguh, ia menyesali kepulangannya. Tapi gagal. Ia akhirnya menangis.

Ceria bangkit lalu berjalan mencari Ibu di belakang rumah. Di dapur, tidak ada. Di dekat sumur, tidak ada. Tidak ada rendaman cucian dalam ember, tidak terlihat pula jemuran terpasang. Mungkin sedang pergi kerja sambilan. Ceria hanya menelan ludah dan memutuskan pergi lagi, mencari uang.

Banyak cara untuk mendapatkan uang. Bisa dengan mengemis, bisa dengan ngamen, atau kalau mau nakal sedikit, dengan mencopet. Kali ini Ceria memilih ngamen, lebih mudah, bebas bernyanyi semaunya. Sungguh beruntung mereka yang butuh uang lalu cukup menengadahkan tangan pada orang tuanya. Namun, itu tidak berlaku pada hidup Ceria. Ia harus berdiri di perempatan jalan, menunggu lampu merah, dan bernyanyi.

“Berjalanlah, walau habis terang, ambil cahaya cinta kuterangi jalanmu…,” Ceria menyanyikan lagu Peterpan di samping mobil Avanza. Si pengemudi lantas menurunkan kaca mobilnya dan memberi receh. Ceria mengangguk dan tersenyum. Ada kepuasan tersendiri manakala menerima uang hasil kerja sendiri.

Lampu menghijau. Ceria minggir kembali, menunggu lampu merah -->. Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar ada yang berteriak.

“Wooooiii… kampreeeeeeettt!!” segerombolan pemuda yang lebih layak disebut preman berlari ke arah beberapa anak yang sedang bekerja di perempatan, termasuk Ceria.

Seperti terpasang radar, menyadari dirinya dalam bahaya, Ceria langsung lari seperti apa yang dilakukan oleh banyak anak-anak di sana. Ia berlari menembus lorong pertokoan, berbelok, dan tembus ke gang sempit di antara rumah perkampungan dekat situ. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ada yang mengejarnya. Ternyata, ia terlacak. Ia pun mempercepat langkahnya. Celakanya, Ceria tersandung batu dan jatuh tersungkur mencium tanah. Hidungnya terasa amat perih.

“Mampus! Ngapain lu lari?!” Suara seorang preman botak itu terdengar ngos-ngosan, “Mau lari kemana lagi, Bocah?” Ceria bergidik. Apalagi setelah melihat tato di leher si preman bergambar belati. Preman itu mencengkeram lengannya dan merebut uang yang sedang digenggamnya.

“Sehari cuman dapet segini lu?! Kalau begini sih, mending gue ambil semuanya dah! Ha ha ha….”


“Jangan, Bang…” Ceria berusaha merebut lagi uangnya.

“Heh, nglunjak lagi! Suruh siapa lu nggak bayar pajak ke bos malah kabur? Nih, rasain!” preman itu menjambak rambut Ceria dan membantingkan kepalanya ke tembok rumah yang ada di situ. Tiba-tiba semua gelap. Gelap seperti lorong itu. 

***

Ketika Ceria membuka mata, hari telah gelap. Lorong itu pun bertambah gelap. Ia memegangi pelipisnya yang lebam. Sakit. Ia menangis, menangis lagi. Lama. Air mata itu bercucur, meruah-ruah, seperti bencana bah zaman Nuh yang hendak tumpah semua. Ingin sekali ia menjerit minta tolong pada pemilik rumah yang temboknya telah berjasa mengukir jejak lebam, cukup dengan sekali saja si preman keparat itu mengeluarkan kamehame-nya. Tapi ia telanjur lelah. Ia melepas kedua sepatunya dan melemparnya begitu saja.

Lorong gelap itu seketika menjadi terang. Ceria bereaksi, kaget. Dari mana datangnya cahaya? Lampu senterkah? Tiba-tiba ia merasa ada yang menepuk punggungnya. Sontak bulu kuduknya merinding, ia berbalik perlahan lalu mengucek-ngucek matanya, tak percaya apa yang dilihatnya. Seekor kunang-kunang. Ia mengamati lagi, lebih seksama. Oh... bukan. Itu... peri. Semacam itulah. Wajahnya begitu cantik dan mungil.

“Si… siapa kamu?” Ceria memberanikan diri bertanya.

Peri itu tersenyum. “Aku sudah lama mengikutimu. Aku adalah peri cahaya.”

“Mau apa kamu?” Tiba-tiba Ceria berubah menjadi siaga.

“Tenanglah. Aku hanya ingin mengabulkan permintaanmu.”

“Permintaan?”

“Iya, permintaan. Apa saja yang kaumau. Uang, kecantikan, kedudukan, aku bisa memberikannya untukmu.”

Ceria terdiam. Keningnya berkerut.

“Tak usah bingung, Anak Manis…. Nah, sekarang apa yang kauinginkan?” Peri itu mengusap hidung Ceria. ”Kamu ingin pakaian baguskah? Buku? Atau, pacar mungkin?” Si Peri tergelak dengan caranya yang manis. Tapi Ceria tetap diam.

“Ah… aku tahu. Kau ingin uangmu yang dirampas kembali, bukan?” Peri menebak.

“Tidak, aku tidak mau uang itu lagi.”

“Lalu?”

“Aku bosan menangis, Peri.” Ceria menghela napas sejenak. ”Aku... aku... aku ingin sisa air mataku yang mungkin akan aku keluarkan besok dan seterusnya ditanggung oleh semua orang….”

Air muka Peri menunjukkan tanda kebingungan. “Maksudnya?”

Ceria mulai tenang. Ia menjelaskan lagi. “Aku ingin, semua orang di dunia menangis besok. Satu hari saja. Jumlah air mata mereka semua harus sama dengan air mata dalam hidupku. Jadi, setelah iniaku tidak akan menangis seumur hidup. Apakah itu bisa, Peri?”

“Ha ha ha… permintaan yang aneh, tapi itu mudah sekali. Baiklah, besok semua orang akan menangis. Senyumlah, Sayang….”

Ceria tersenyum, manis sekali. Seumur hidup mungkin itu kali pertamanya Ceria tersenyum dengan tulus, tanpa tendensi, tanpa dibuat-buat. Peri sangat senang melihatnya. Pelan-pelan cahaya itu memudar, membaur dalam gelapnya lorong, mungkin juga gelapnya malam.
 ***
Keadaaan gawat. Hari ini sekolah sampai dibubarkan karena dianggap keadaannya sedang tidak kondusif. Kepala sekolah, para guru, dan semua murid semua menangis, kecuali Ceria. Hanya ia yang tersenyum. Ia sangat senang karena permintaannya dikabulkan.

Ketika Ceria ngamen di perempatan jalan seperti kemarin, banyak yang memberinya uang. Semua yang memberi itu menangis, terharu mendengarkan Ceria bernyanyi. Uangnya hari ini menjadi banyak sekali. Karena itu, dia berpikir untuk memberi sedikit saja untuk preman botak yang kemarin menghajarnya. Preman itu menerimanya sambil menangis meraung-raung.

Ceria pun pergi ke warung makan. Ia ingin merayakan kegembiraannya hari ini dengan makan enak. Di warung, orang-orang makan sambil menangis. Ia lalu tertawa geli karena menganggap semua orang di situ menangis karena makanannya terlalu pedas. Ia pun memesan nasi ayam pada penjualnya, menu yang selalu membuatnya menahan diri meski paling diinginkan.

Sambil menunggu, Ceria menonton tivi. Tampak penyiar berita membacakan berita sambil menangis. Kebetulan yang menjadi berita utama adalah fenomena aneh di seluruh dunia, seluruh warga dunia menangis! Diperlihatkan bagaimana pejabat dan para menteri menangis. Bagian yang paling Ceria sukai adalah saat stasiun tivi memberitakan bagaimana para presiden di seluruh dunia menangis. Ia tertawa melihat SBY menangis. Ia juga ngakak menyaksikan Obama menangis ketika pidato. Lebih-lebih, menyaksikan sederetan nama yang disebut-sebut koruptor seperti si Gayus, si Nazarudin, si anu, si itu... Ah, ia tidak hafal! Yang jelas, semuanya bercucuran air mata ketika duduk di depan meja hijau. Ia merasa lega, mereka juga perlu merasakan rasanya menangis.

Tak lama, pesanan pun datang. Si Ibu penjual berkata, “Kalau kamu bisa makan ini tanpa menangis, kamu tidak perlu membayarnya, Nak. Sedih aku dari tadi melihat semua orang menangis saat memakan masakanku, hu hu hu….”

Begitulah akhirnya, Ceria pun kenyang tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Ia keluar dari warung, merasa puas. Masih ada beberapa jam untuk menikmati tangisan mereka, begitu pikirnya.

Air mata, air mata, air mata. Siapakah yang lebih pantas memilikimu, aku atau anak kecil? Mungkin aku masih kecil atau mungkin memang dasar aku cengeng. Tapi ini bukan mauku, ini maunya si kelenjar air mata. Ia bekerja secara motorik atas perintah otak. Otak sendiri mencerna lalu memerintahnya setelah mendapat sinyal dari sebuah rasa, bisa bahagia, sedih, kecewa, ataupun takut. Dan inilah dongeng tentang air mataku (yang tak akan pernah menetes lagi, selamanya).
Selesai.

-sebulir air mata untuk mereka yang tak peduli-

150911



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar: